Otonomi daerah dapat diartikan
sebagai hak, wewenang, dan kewajiban yang diberikan kepada daerah otonom untuk
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat
setempat untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan
pemerintahan dalam rangka pelayanan terhadap masyarakat dan pelaksanaan
pembangunan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Sedangkan yang
dimaksud dengan daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai
batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan
dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan
aspirasi masyarakat.
Pelaksanaan
otonomi daerah selain berlandaskan pada acuan hukum, juga sebagai implementasi
tuntutan globalisasi yang mau tidak mau, suka tidak suka daerah harus lebih
diberdayakan dengan cara daerah diberikan kewenangan yang lebih luas, lebih
nyata dan bertanggung jawab, terutama dalam mengatur, memanfaatkan dan menggali
sumber-sumber potensi yang ada di daerahnya masing-masing.
Kebijakan otonomi daerah lahir
ditengah gejolak tuntutan berbagai daerah terhadap berbagai kewenangan yang
selama 20 tahun pemerintahan Orde Baru (OB) menjalankan mesin sentralistiknya.
UU No. 5 tahun 1974 tentang pemerintahan daerah yang kemudian disusul dengan UU
No. 5 tahun 1979 tentang pemerintahan desa menjadi tiang utama tegaknya sentralisasi kekuasaan OB.
Semua mesin partisipasi dan prakarsa yang sebelumnya tumbuh sebelum OB
berkuasa, secara perlahan dilumpuhkan dibawah kontrol kekuasaan. Stabilitas
politik demi kelangsungan investasi ekonomi (pertumbuhan) menjadi alasan
pertama bagi OB untuk mematahkan setiap gerak prakarsa yang tumbuh dari rakyat.
Paling tidak ada dua faktor yang
berperan kuat dalam mendorong lahirnya kebijakan otonomi daerah berupa UU No.
22/1999. Pertama, faktor internal yang didorong oleh berbagai protes atas
kebijakan politik sentralisme di masa lalu. Kedua, adalah faktor eksternal yang
dipengaruhi oleh dorongan internasional terhadap kepentingan investasi terutama
untuk efisiensi dari biaya investasi yang tinggi sebagai akibat korupsi dan
rantai birokrasi yang panjang.
Otonomi daerah merupakan suatu wujud
demokrasi yang diberikan Pemerintah Pusat kepada Pemerintah daerah untuk
mengurus sendiri rumah tanggannya dengan tetap berpegang kepada peraturan
perundangan yang berlaku. Otonomi dijadikan sebagai pembatas besar dan luasnya
daerah otonom dan hubungan kekuasaan antara pemerintah pusat dan daerah untuk
menghindari daerah otonom menjadi Negara dalam Negara. Daerah otonom adalah
batas wilayah tertentu yang berhak, berwenang dan berkewajiban mengatur dan
mengurus rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik
Indonesia, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Otonomi Derah membuka kesempatan
yang seluas-luasnya bagi daerah untuk mengaktualisasikan segala potensi
terbaiknya secara optimal. Kebijakan untuk meningkatkan peranan dan kemampuan
pemerintah daerah di bidang ekonomi sebenarnya telah diupayakan sejak awal
dilakanakannya pembangunan di Indonesia, yakni, “ Mempercepat pembangunan ekonomi
daerah yang efektif dan kuat dengan memberdayakan pelaku dan potensi ekonomi
daerah, serta memperhatikan penataan ruang, baik fisik maupun sosial sehingga
terjadi pemerataan pertumbuhan ekonomi sejalan dengan pelaksanaan otonomi
daerah” (GBHN, 1999).
Selama lima tahun pelaksanaan UU No.
22 tahun 1999, otonomi daerah telah menjadi kebutuhan politik yang penting
untuk memajukan kehidupan demokrasi. Bukan hanya kenyataan bahwa masyarakat
Indonesia sangat heterogen dari segi perkembangan politiknya, namun juga
otonomi sudah menjadi alas bagi tumbuhnya dinamika politik yang diharapkan akan
mendorong lahirnya prakarsa dan keadilan. Walaupun ada upaya kritis bahwa
otonomi daerah tetap dipahami sebagai jalan lurus bagi eksploitasi dan
investasi , namun sebagai upaya membangun prakarsa ditengah-tengah surutnya
kemauan baik (good will) penguasa, maka otonomi daerah dapat menjadi
“jalan alternative “ bagi tumbuhnya harapan bagi kemajuan daerah.
Namun demikian, otonomi daerah juga
tidak sepi dari kritik. Beberapa diantaranya adalah; (1) masalah yang berkaitan
dengan penyalahgunaan kekuasaan yang ditandai dengan korupsi “berjamaah” di
berbagai kabupaten dan propinsi atas alasan apapun. Bukan hanya modus
operandinya yang berkembang, tetapi juga pelaku, jenis dan nilai yang dikorupsi
juga menunjukkan tingkatan yang lebih variatif dan intensif dari masa-masa
sebelum otonomi diberlakukan. (2) persoalan yang berkaitan dengan pengelolaan
sumber daya alam untuk kepentingan (atas nama) Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Eksploitasi sumber daya alam untuk memperbesar PAD berlangsung secara masif
ketika otonomi daerah di berlakukan. Bukan hanya itu, alokasi kebijakan
anggaran yang dipandang tidak produktif dan berkaitan langsung dengan
kepentingan rakyat juga marak diberbagai daerah. (3) persoalan yang berkaitan
dengan hubungan antara pemerintah propinsi dan kabupaten. Otonomi daerah yang
berada di kabupaten menyebabkan koordinasi dan hirarki kabupaten propinsi
berada dalam stagnasi. Akibatnya posisi dan peran pemerintah propinsi menjadi
sekunder dan kurang diberi tempat dari kabupaten dalam menjalankan
kebijakan-kebijakannya. Tidak hanya menyangkut hubungan antara propinsi dan
kabupaten, tetapi juga antara kabupaten dengan kabupaten. Keterpaduan
pembangunan untuk kepentingan satu kawasan seringkali macet akibat dari egoisme
lokal terhadap kepentingan pembangunan wilayah lain. Konflik lingkungan atau
sumber daya alam yang kerap terjadi antar kabupaten adalah gambaran bagaimana
otonomi hanya dipahami oleh kabupaten secara sempit dan primordial. (4)
persoalan yang berhubungan dengan hubungan antara legislatif dan eksekutif ,
terutama berkaitan dengan wewenang legislatif. Ketegangan yang seringkali
terjadi antara legisltif dan eksekutif dalam pengambilan kebijakan menyebabkan
berbagai ketegangan berkembang selama pelaksanaan otonomi. Legislatif sering
dituding sebagai penyebab berkembangnya stagnasi politik ditingkat lokal.
8/9.2 Perubahan Penerimaan Daerah dan Peranan
Pendapatan Asli
Daerah
Perubahan atas pendapatan, terutama PAD
bisa saja berlatarbelakang perilaku oportunisme para pembuat keputusan,
khususnya birokrasai di SKPD dan SKPKD. Namun, tak jarang perubahan APBD juga
memuat preferensi politik para politisi di parlemen daerah (DPRD). Anggaran
pendapatan akan direvisi dalam tahun anggaran yang sedang berjalan karena
beberapa sebab, diantaranya karena (a) tidak terprediksinya sumber penerimaan
baru pada saat penyusunan anggaran, (b) perubahan kebijakan tentang pajak dan
retribusi daerah, dan (c) penyesuaian target berdasarkan perkembangan terkini.
Ada beberapa
kondisi yang menyebabkan mengapa perubahan atas anggaran pendapatan terjadi, di
antaranya:
1. Target pendapatan dalam APBD underestimated (dianggarkan
terlalu rendah). Jika sebuah angka untuk target pendapatan sudah ditetapkan
dalam APBD, maka angka itu menjadi target minimal yang harus dicapai oleh
eksekutif. Target dimaksud merupakan jumlah terendah yang “diperintahkan” oleh
DPRD kepada eksekutif untuk dicari dan menambah penerimaan dalam kas daerah.
2. Alasan penentuan target PAD oleh SKPD dapat
dipahami sebagai praktik moral hazard yang dilakukan agency yang
dalam konteks pendapatan adalah sebagai budget minimizer. Dalam
penyusunan rancangan anggaran yang menganut konsep partisipatif, SKPD mempunyai
ruang untuk membuat budget slack karena memiliki keunggulan
informasi tentang potensi pendapatan yang sesungguhnya dibanding DPRD.
3. Jika dalam APBD “murni” target
PAD underestimated, maka dapat “dinaikkan” dalam APBD
Perubahan untuk kemudian digunakan sebagai dasar mengalokasikan pengeluaran
yang baru untuk belanja kegiatan dalam APBD-P. Penambahan target PAD ini dapat
diartikan sebagai hasil evaluasi atas “keberhasilan” belanja modal dalam
mengungkit (leveraging) PAD, khususnya yang terealiasai
dan tercapai outcome-nya pada tahun anggaran sebelumnya.
Pendapatan Asli
Daerah (PAD) merupakan pendapatan daerah yang bersumber dari hasil pajak
daerah, hasil retribusi Daerah, basil pengelolaan kekayaan daerah yang
dipisahkan, dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah, yang bertujuan untuk
memberikan keleluasaan kepada daerah dalam menggali pendanaan dalam pelaksanaan
otonomi daerah sebagai mewujudan asas desentralisasi. (Penjelasan UU No.33
Tahun 2004)
Sumber-sumber
pendapatan asli daerah
Dalam upaya
memperbesar peran pemerintah daerah dalam pembangunan, pemerintah daerah
dituntut untuk lebih mandiri dalam membiayai kegiatan operasionah rumah
tangganya. Berdasarkan hal tersebut dapat dilihat bahwa pendapatan daerah tidak
dapat dipisahkan dengan belanja daerah, karena adanya saling terkait dan
merupakan satu alokasi anggaran yang disusun dan dibuat untuk melancarkan roda
pemerintahan daerah. (Rozali Abdullah, 2002)
Sebagaimana
halnya dengan negara, maka daerah dimana masing-rnasing pemerintah daerah
mempunyai fungsi dan tanggung jawab untuk meningkatkan kehidupan dan
kesejahteraan rakyat dengan jalan melaksanakan pembangunan disegala bidang
sebagaimana yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintah Daerah bahwa “Pemerintah daerah berhak dan berwenang menjalankan
otonomi, seluas-Iuasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan
berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan”. (Pasal 10)
Adanya hak,
wewenang, dan kewajiban yang diberikan Kepada daerah untuk mengatur dan
mengurus rumah tangganya sendiri, merupakan satu upaya untuk meningkatkan peran
pemerintah daerah dalam mengembangkan potensi daerahnya dengan mengelola
sumber-sumber pendapatan daerah secara efisien dan efektif khususnya Pendapatan
asli daerah sendiri.
8/9.3 Pembangunan Ekonomi Regional
Perkembangan teori ekonomi
pertumbuhan dan meningkatnya ketersediaan data daerah mendorong meningkatnya
perhatian terhadap ketidakmerataan pertumbuhan daerah. Teori ekonomi
pertumbuhan dimulai oleh Robert Solow yang dikenal dengan Model pertumbuhan
neo-klasik. Dan beberapa ahli ekonomi Amerika mulai menggunakan teori
pertumbuhan tersebut dengan menggunakan data-data daerah.
Untuk melihat ketidaknmerataan
pertumbuhan regional dapat ditentukan dengan beberapa cara. Secara umum dalam menghitung
pertumbuhan dengan; 1. pertumbuhan output; 2. pertumbuhan output per pekerja;
dan, 3. pertumbuhan output perkapita. Pertumbuhan output digunakan untuk
mengetahui indikator kapasitas produksi. Pertumbuhan output per pekerja
seringkali digunakan untuk mengetahui indikator dari perubahan tingkat
kompetitifitas daerah, sedangkan pertumbuhan output perkapita digunakan sebagai
indikator perubahan dari kesejahteraan
Perkembangan teori ekonomi
pertumbuhan dan meningkatnya ketersediaan data daerah mendorong meningkatnya
perhatian terhadap ketidakmerataan pertumbuhan daerah. Teori ekonomi
pertumbuhan dimulai oleh Robert Solow yang dikenal dengan Model pertumbuhan
neo-klasik. Dan beberapa ahli ekonomi Amerika mulai menggunakan teori
pertumbuhan tersebut dengan menggunakan data-data daerah.
Untuk melihat ketidaknmerataan
pertumbuhan regional dapat ditentukan dengan beberapa cara. Secara umum dalam
menghitung pertumbuhan dengan; 1. pertumbuhan output; 2. pertumbuhan output per
pekerja; dan, 3. pertumbuhan output perkapita. Pertumbuhan output digunakan
untuk mengetahui indikator kapasitas produksi. Pertumbuhan output per pekerja
seringkali digunakan untuk mengetahui indikator dari perubahan tingkat
kompetitifitas daerah, sedangkan pertumbuhan output perkapita digunakan sebagai
indikator perubahan dari kesejahteraan .
8/9.4 Faktor-faktor penyebab ketimpangan
Ada 2 faktor penyebab ketimpangan
pembangunan, faktor pertama adalah karena ketidaksetaraan anugerah awal
(initial endowment) diantara pelaku-pelaku ekonomi. Sedangkan faktor kedua
karena strategi pembangunan dalam era PJP I lebih bertumpu pada aspek
pertumbuhan (growth). Sebagian
ketidaksetaraan anugerah awal itu bersifat alamiah (natural) atau bahkan
ilahiah. Akan tetapi sebagian lagi bersifat structural. Ketidaksetaraan itu
berakibat peluang dan harapan untuk berkiprah dalam pembangunan menjadi tidak
seimbang. Ditumpukkannya strategi pembangunan pada aspek petumbuhan,
bukanlah tidak beralasan. Secara akademik, baru pertumbuhanlah yang telah
memiliki teori-teori yang mantap dalam konsep pertumbuhan ekonomi. Oleh karenanya tidaklah mengherankan
kalau rancangan pebangunan lebih menyandarkan rencana pembangunannya pada aspek
pertumbuhan.
8/9.5 Pembangunan Indonesia Bagian Timur
Pembangunan di Indonesia Bagian Timur
lebih tertinggal dibandingkan daerah Indonesia bagian lain. Mungkin penyebabnya
tanah yang lebih tidak subur dan masalah transportasi. Aku lihat sih daerah
yang agak tandus, jalannya lebih cepat rusak, entah karena keadaan tanahnya
atau karena suhu udaranya yang lebih panas. Sehingga perjalanan memerlukan
waktu tempuh yang lebih lama dan medan yang berat. Aku sering main daerah dekat
waduk/bendungan. Daerah yang sulit dijangkau karena jalannya rusak atau jauh,
lebih mudah terjangkau dengan adanya transportasi air.
Keuntungannya:
-
Proyek
yang menarik dan mudah dijual karena akan mendapatkan hasil langsung berupa
pohon/hasil hutan sepanjang yang akan dibuat jalan. Akan mendapatkan bahan
galian yang bisa berupa bahan tambang yang bernilai tinggi (bisanya daerah
tandus kaya akan bahan tambang bernilai tinggi dan batuan mulia/permata)dan
atau bahan mineral.
-
Peluang bisnis transportasi manusia dan
barang (kalau tidak salah transportasi via air termasuk transportasi yang
paling murah untuk angkutan barang).
-
Bendungan bisa juga dibuat pembangkit
listrik tenaga air.
-
Bisa menjadi Objek wisata
-
Di bendungan bisa dibuat budi daya ikan
jaring terapung, sedangkan di jalan air bisa di buat budi daya ikan di keramba.
-
Untuk saluran irigasi.
-
Meningkatkan kesuburan tanah(biasanya
daerah dekat aliran air, tanahnya menjadi lebih subur).
-
Bisa juga dirancang untuk mengatasi
banjir.
-
Bisa juga dirancang untuk mengatasi
kebakaran hutan (minimal melokalisasi kebakaran hutan yang terpotong jalan
air).
-
Transportasi manusia dan barang lebih
mudah, murah dan lancar otomatis meningkatkan aktivitas ekonomi di daerah itu
dan antar pulau.
-
Akan berkembang aktivitas-aktivitas
ekonomi penunjang lainnya yang meningkatkan penghasilan dan menyerap lapangan
pekerjaan.
-
Mempermudah aparat keamanan untuk
menjaga daerah-daerah yang sulit dijangkau lewat darat.
Hal-hal yang harus diperhatikan:
-
Masalah
pengawasan dan keamanan lalu lintas jalan air
-
Debit
banjir bila air meluap
-
Pemeliharaan
jalan air
-
Masalah
keselamatan pengguna jalan air.
8/9.6 Teori dan Analisis Pembangunan Ekonomi
Daerah
Perbedaan karakteristik wilayah berarti perbedaan potensi yang dimiliki,
sehingga membutuhkan perbedaan kebijakan untuk setiap wilayah. Untuk menunjukkan adanya perbedaan potensi ini maka dibentuklah
zona-zona pengembangan ekonomi wilayah.
Zona Pengembangan Ekonomi Daerah adalah pendekatan pengembangan ekonomi
daerah dengan membagi habis wilayah sebuah daerah berdasarkan potensi unggulan
yang dimiliki, dalam satu daerah dapat terdiri dari dua atau lebih zona dan
sebuah zona dapat terdiri dari dua atau lebih cluster. Setiap zona diberi nama sesuai
dengan potensi unggulan yang dimiliki, demikian pula pemberian nama untuk
setiap cluster, misalnya : Zona Pengembangan Sektor Pertanian yang terdiri dari
Cluster Bawang Merah, Cluster Semangka, Cluster Kacang Tanah, dst.
Zona pengembangan ekonomi daerah (ZPED) adalah salah satu solusi yang dapat
diterapkan untuk membangun ekonomi suatu daerah untuk mewujudkan kesejahteraan
masyarakat di masa depan. Pola
pembangunan ekonomi dengan pendekatan Zona
Pengembangan
Ekonomi Daerah (ZPED), bertujuan:
1.
Membangun
setiap wilayah sesuai potensi yang menjadi keunggulan kompetitifnya/kompetensi
intinya.
2.
Menciptakan
proses pembangunan ekonomi lebih terstruktur, terarah dan berkesinambungan.
3.
Memberikan
peluang pengembangan wilayah kecamatan dan desa sebagai pusat-pusat pertumbuhan
ekonomi daerah.
Hal ini sejalan dengan strategi
pembangunan yang umumnya dikembangkan oleh para ahli ekonomi regional dewasa
ini. Para ahli sangat concern dengan ide pengembangan ekonomi yang bersifat lokal, sehingga lahirlah
berbagai Strategi Pembangunan Ekonomi Lokal (Local Economic Development/LED). Strategi ini terangkum dalam
berbagai teori dan analisis yang terkait dengan pembangunan ekonomi lokal.
Salah satu analisis yang relevan dengan strategi ini adalah Model Pembangunan
Tak Seimbang, yang dikemukakan oleh Hirscman :
“Jika kita mengamati proses pembangunan yang terjadi antara dua priode waktu tertentu akan tampak bahwa berbagai sektor kegiatan ekonomi mengalami perkembangan dengan laju yang berbeda, yang berarti pula bahwa pembangunan berjalan dengan baik walaupun sektor berkembang dengan tidak seimbang. Perkembangan sektor pemimpin (leading sector) akan merangsang perkembangan sektor lainnya. Begitu pula perkembangan di suatu industri tertentu akan merangsang perkembangan industri-industri lain yang terkait dengan industri yang mengalami perkembangan tersebut”.
“Jika kita mengamati proses pembangunan yang terjadi antara dua priode waktu tertentu akan tampak bahwa berbagai sektor kegiatan ekonomi mengalami perkembangan dengan laju yang berbeda, yang berarti pula bahwa pembangunan berjalan dengan baik walaupun sektor berkembang dengan tidak seimbang. Perkembangan sektor pemimpin (leading sector) akan merangsang perkembangan sektor lainnya. Begitu pula perkembangan di suatu industri tertentu akan merangsang perkembangan industri-industri lain yang terkait dengan industri yang mengalami perkembangan tersebut”.
Model pembangunan tak seimbang
menolak pemberlakuan sama pada setiap sektor yang mendukung perkembangan
ekonomi suatu wilayah. Model pembangunan ini mengharuskan adanya konsentrasi
pembangunan pada sektor yang menjadi unggulan (leading sector) sehingga pada
akhirnya akan merangsang perkembangan sektor lainnya.
Terdapat pula analisis kompetensi
inti (core competiton). Kompetensi inti dapat berupa produk barang atau jasa
yang andalan bagi suatu zona/kluster untuk membangun perekonomiannya.
Pengertian kompetensi inti menurut
Hamel dan Prahalad (1995) adalah :“Suatu
kumpulan kemampuan yang terintegrasi dari serangkaian sumberdaya dan perangkat
pendukungnya sebagai hasil dari proses akumulasi pembelajaran, yang akan
bermanfaat bagi keberhasilan bersaing suatu bisnis”.
Sedangan
menurut Reeve (1995) adalah :“Aset yang
memiliki keunikan yang tinggi, sulit ditiru, keunggulan daya saing ditentukan
oleh kemampuan yang unik, sehingga mampu membentuk suatu kompetensi inti”.
---------------------
Sumber Referensi:
No comments:
Post a Comment